August 26, 2010

BUSHIDO: Kepribadian para ksatria

Menurut Inazo Nitobe dalam bukunya yang berjudul “Bushido”, Bushido atau ”Jalan Samurai” (bushi = samurai, do = jalan) merupakan ”kepribadian bangsa Jepang, dan jiwa ksatria yang merangsang pikiran, emosi dan sikap hidup sehari-hari masyarakat Jepang, serta menjadi azas moral yang harus dihayati golongan ksatria”. Inazo Nitobe (1862 – 1933) yang merupakan bapak liberalisme Jepang, menulis buku ini pada tahun 1897. Nitobe berjasa dalam memperkenalkan Jepang kepada dunia Barat. Karena jasa tersebut, gambar Nitobe diabadikan dalam lembar uang 5000 yen. Oh ya, lanjut lagi......Bushido juga menjadi pengganti pelajaran agama dan pedoman moral serta etika bangsa Jepang. Sehingga tak heran apabila nilai bushido ini amat terpatri dalam jiwa orang Jepang hingga saat ini.

Menilik dari sejarah perkembangannya, nilai-nilai bushido mulai muncul dan berkembang pada era / zaman feodal memegang pemerintahan Jepang kuno. Pada zaman feodal ini, stratifikasi sosial atau pengelompokan dalam masyarakat amat ketat dijalankan, dimana bushi / samurai menempati posisi tertinggi dalam sistem pengkelasan. Golongan samurai amat disegani dan ditakuti oleh masyarakat golongan lain di bawahnya, terlebih pada zaman Tokugawa, saat diterapkannya politik sakoku (penutupan diri) dari dunia luar.

Hampir selama 250 tahun samurai berada di posisi tertinggi, sehingga nilai-nilai kesamuraian menjadi sangat tersosialisasikan dalam masyarakat Jepang. Pun walau akhirnya sakoku berakhir, dan Jepang melakukan pembukaan diri secara paksa oleh Comodor Perry dari Amerika Serikat (saat restorasi Meiji) terjadi, nilai-nilai ini tetap tidak tergoyahkan karena sudah terfragmentasi dalam masyarakat secara kuat (sudah terproses selama ratusan tahun).


Jika ditinjau dari sumbernya, nilai-nilai bushido berasal dari :


Ajaran Budhisme. Dimana terdapat perasaan percaya, tenang pada nasib, pasrah damai dalam hal-hal yang tidak terelakkan. Contoh : ketenangan hati menghadapi bahaya/bencana, rasa bosan hidup, akrab dengan maut. Selain itu, dalam Budha hinayana tidak ada konsep Sang Pencipta dan konsep dosa. Maka dalam kasus ini, mati bunuh diri tidak ada sangkut pautnya dengan nilai norma doktrinal agama. Yang ada hanyalah konsep karma dimana ”perbuatan yang baik akan berakibat baik pula”, dan begitu pula sebaliknya.


Shintoisme. Nilai-nilai kesetiaan pada kaisar / pemimpin dan hormat pada arwah leluhur


Masih berdasarkan buku Nitobe, nilai-nilai Bushido antara lain meliputi:


1. Keberanian.

Keberanian ini dapat dilihat dari sikap orang Jepang dalam mempertahankan kelompoknya (pengaruh ”sistem ie”). Orang Jepang bahkan sampai berani dan rela mati demi membela kelompoknya tersebut.

2. Ketabahan hati

3. Kehalusan budi dan lemah lembut

4. Kejujuran

Diibaratkan bahwa kejujuran itu seperti ”tulang”, dimana ia berkedudukan sebagai penopang utama. Bila tidak ada tulang, maka mustahil apabila tubuh dapat berdiri. Seperti itulah urgensi kejujuran bagi orang Jepang. Hal ini masi bertahan hingga sekarang, misalnya dalam prinsip orang Jepang dalam berdagang, dimana kejujuran kepada konsumen adalah yang paling utama.

5. Cinta nama baik

Saking cintanya orang Jepang pada nama baik, mereka takkan segan untuk keluar atau mundur dari institusi tempatnya bekerja (bahkan pergi meninggalkan keluarganya) demi menjaga nama baik. Pada tingkatan ekstrim, banyak orang Jepang yang memilih mati bunuh diri daripada nama baiknya tercemar.

6. Setia kepada tugas dan sumpah

7. Memegang teguh janji kehormatan

8. Tidak mengenal takut dalam melaksanakan tugas dan kewajiban

9. Bertanggung jawab

10. Rela menjalani hukuman mati secara mulia (seppuku / harakiri)

Sikap ini sangat terkait dengan nilai-nilai bushido lainnya. Apabila pada suatu ketika dimana orang Jepang merasa tugas yang dijalankannya gagal, ia merasa bertanggung jawab dan sangat malu. Sebagai konsekuensinya, ia rela menjalani hukuman mati dengan melakukan seppuku / harakiri demi menjaga nama baik dirinya dan lembaga tempatnya mengabdi. Ia lebih memilih mati, karena masyarakat Jepang menganggap mati lebih terhormat daripada hidup menanggung malu.

11. Tegas, bersedia menanggung segala konsekuensi.


Dari semua gambaran tentang nilai Bushido ini, dapat diambil beberapa pelajaran positif yang bisa kita tiru. Bahwa, tidak kunjung maju karena orang-orang yang tidak mau iintrospeksi diri dan selalu mencari kambing hitam apabila terjadi kesalahan. Dengan kata lain minim rasa tanggung jawab dan rasa malu! Perlulah kita belajar dari Jepang tentang budaya malu, bertanggung jawab dan sikap tegas.

(Diambil dari Catatan Kuliah Matrikulasi Kejepangan, KWJ-UI 2008 by Mrs. Etty)


sumber:chikupunya.multiply.com/journal/item/48

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...