January 26, 2011

SENOPATI PAMUNGKAS: Cinta Sejati dan Pengabdian


Sebetulnya obyek kegemaran membaca saya (Admin Jogjaicon) adalah komik atau cergam, namun Senopati Pamungkas mampu meningkatkan hobi membaca ini ke bentuk novel. Bermula pada waktu saya masih duduk di bangku SMP kelas III di SMP Negeri 2 Kupang sktr tahun 1989, sarana hiburan sangatlah minim kecuali menonton video kaset atau mendengarkan siaran radio FM. Dan akhirnya membaca buku menjadi salah satu cara untuk self-recreation. Tinggal di sebuah komplek suatu instansi pemerintah pusat di Lalamentik Oebobo Kupang, saya memiliki tetangga-tetangga bujangan lulusan STAN Jakarta.

Dari mereka inilah saya pertama kali meminjam Novel Senopati Pamungkas. Buku edisi pertamanya cukup tebal (diterbitan PT. Gramedia), namun kisahnya cukup padat dan mengasyikan. Entah kenapa kok kemudian muncul sequel-sequelnya, yang terkesan bertele-tele. Memang disini Mas Arswendo Atmowiloto selaku pengarang menunjukkan kepiawaiannya mengolah kata-kata. Sehingga membaca Senopati pamungkas, serasa kita membaca tulisan-tulisan dalam serat kidung atau babad. Namun demikian secara umum, membaca Senopati Pamungkas tetap mengasyikkan. Apalagi kisah silat yang bisa disebut juga tulisan semi dokumenter karena menampilkan secara detail tentang akhir kejayaan kerajaan singosari sampai masa keemasan kekaisaran Majapahit di pulau Jawa masa silam.

Sayangnya sewaktu saya SMA di Yogyakarta sekitar tahun 1990-an, mungkin karena suatu hal yang sedang menimpa mas Arswendo sang pengarang, Senopati Pamungkas sempat terhenti penerbitan sequel lanjutannya (Walau akhirnya tuntas juga). Tapi Saya tetap membaca ulang puluhan koleksi Senopati Pamungkas yang saya miliki. Jujur saja, semua koleksi itu adalah ”lungsuran” dari tetangga-tetangga saya tersebut di Kupang jaman SMP. Selebihnya saya meminjam di sebuah Taman Bacaan di perempatan SGM Yogyakarta.

Pada masa SMA itulah, saya baru dapat mengambil intisari penting bagi kehidupan ini dari Senopati Pamungkas. Yaitu tentang Pengabdian dan Cinta. Bahwa cinta sejati itu tidak harus selalu memiliki, memahami hakekat cinta sejati adalah memahami hakekat hidup didunia. (Wedddeeew, bukan mau mengingatkan seseorang di Oebobo Kupang NTT tentang masa lalu lho..)

SINOPSIS:

NOVEL SENOPATI PAMUNGKAS

(ARSWENDO ATMOWILOTO, PENERBIT GRAMEDIA)

Baginda Raja Sri Kertanegara membawa Kerajaan Singosari ke puncak kejayaan yang tiada taranya pada awal sejarah keemasan. Pasukan Tartar dari Cina Mongol yang berhasil menaklukkan separuh dunia dipencungi. Umbul-umbul berlambang singa berkibar ke seberang lautan.

Ide strategisnya adalah mendirikan Ksatria Pingitan, semacam Asrama yang khusus melatih serta mendidik para prajurit pilihan sejak usia dini, telah menghasilkan banyak ksatria perkasa Singosari. Di antaranya adalah Upasara Wulung, yang sepanjang usianya dihabiskan di Ksatria Pingitan.

Pada perjalanan hidup selanjutnya Upasara Wulung akhirnya terlibat dalam intrik politik Keraton, perebutan kekusaan, penghianatan, keculasan, terseret arus pilih tanding antara jago-jago kelas utama dunia: mulai dari Tartar di negeri Cina, tlatah sailan, pendekar matahari jepun sampai jago-jago Puun Banten dengan segala ilmu yang aneh. Juga terlibat dalam lintasan asmara yang menggeletarkan.

Ilmu segala ilmu adalah Tepukan Satu Tangan, di mana satu tangan lebih terdengar daripada dua tangan. Di banyak tlatah negeri diberi nama berbeda, tetapi intinya sama yaitu Pasrah diri secara total.

Pasca keruntuhan Singosari, Upasara wulung diangkat sebagai senopati oleh Raden Wijaya, yang mendirikan Majapahit dengan satu tekat: Seorang brahmana yang suci bisa bersemedi, tetapi seorang ksatria mempunyai tugas bertempur, membela tanah kelahiran.

(Referensi Sinopsis: Novel Senopati Pamungkas jilid pertama)

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...