Bagi orang-orang yang berwisata ke Yogya, ada istilah, “Belum ke Yogya kalau belum ke Malioboro”. Panjang jalan Malioboro tak lebih dari dua kilometer, tapi jangan anggap enteng. Malioboro memiliki nilai kosmologis bagi masyarakat Jawa. Bentangan garis di antara Gunung Merapi, Tugu, Kraton, Panggung Krapyak, dan Samudera Indonesia dipercaya masyarakat Jawa sebagai “sumbu magis yang mencerminkan perjalanan hidup manusia dari kelahiran sampai kematian”. Fungsi Malioboro sendiri –yang terletak dalam garis itu, menjelang Kraton—merupakan “penanda garis yang menghubungkan antara fase kehidupan manusia yang telah mencapai posisi duniawi”.
Jika dirunut dari sejarahnya, pada awalnya Malioboro memang dibangun perlahan sebagai pusat kegiatan ekonomi. Cikal bakalnya dari kawasan Pecinan (Chinatown) di kawasan ini, yang muncul sejak Raja Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I mengangkat seorang kapiten Cina, Tan Jin Sing, pada tahun 1755. Nama Jawanya, Setjodingrat, dan tinggal di ndalem Setjodingratan (kini terletak di sebelah timur Kantor Pos Besar). Sejak sekitar tahun 1916, kawasan Malioboro sebelah selatan dikenal sebagai pemukiman Pecinan, yang ditandai dengan rumah-rumah toko yang menjual barang-barang kelontong, emas dan pakaian.
Kawasan ini kian ramai setelah Kraton membangun Pasar Gedhe (kini Pasar Beringharjo), yang beroperasi sejak 1926. Kawasan Pecinan mulai meluas ke utara, sampai ke Stasiun Tugu (dibangun pada 1887) dan Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel Garuda). Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg (kini Vredeburg) dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan ini. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina.
Pada 1970-an, Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya di Yogya. Malioboro menjadi ‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan pusatnya Senisono. Daya hidup seni jalanan ini akhirnya mandek pada 1990-an setelah gedung Senisono ditutup. Warisan ‘para seniman ini di Malioboro adalah ‘budaya lesehan’, yang lalu menjadi eksotisme dan merupakan daya jual kekhasan warung-warung di Malioboro.
Dalam konteks budaya, bangunan-bangunan bergaya Indies Hindia Belanda, Jawa dan Cina di kawasan ini mungkin masih menjadi peninggalan yang berarti, di tengah munculnya sejumlah bangunan baru bergaya modern di Malioboro.
Sumber Gambar:dunia.graciadei.com
Sumber postingan dicuplik dari:http://www.tembi.org/perpus/
*****
No comments:
Post a Comment