January 25, 2011

MARSOSE & Kisah Tragisnya dalam Perang Kolonial Belanda di Aceh


Pada masa Perang Kolonial Belanda di Aceh banyak pasukan Belanda, terutama dari Korps Marsose yang tewas dalam hutan belantara, bukan saja dalam pertempuran dengan para pejuang Aceh masa itu, tapi juga karena kelaparan atau tersesat. Kisah pasukan Marsose pimpinan Nutter dan pasukan Berger diantaranya.

Kisah sepasukan Marsose pimpinan Nutter adalah salah satu kisahnya. Nasib tragis dialami pasukan Marsose itu itu terjadi akibat Nutter salah perhitungan dalam menjalankan tugasnya. Opsir Belanda totok ini dan anak buahnya tersesat dalam hutan belantara. Sepanjang jalan yang ditempuh Nutter mayat-mayat bergelimpangan, karena mati kelaparan.

Satu persatu serdadu Marsose Belanda tewas karena kelelahan. Ketika mayat-mayat itu ditemukan oleh pasukan Belanda lainnya, yang tinggal hanya tulang-belulang, dagingnya sudah dibersihkan oleh binatang buas hutan. Hanya seragamnya saja yang bisa menunjukkan bahwa tulang belulang itu adalah mayat serdadu Belanda.

Pasukan lainnya yang mengalami nasib yang sama dipimpin oleh Letnan Berger, yang berangkat dari Tangse, Pidie, menuju Seulimum, Aceh Besar melalui pegunungan. Meski tersesat, Berger tetap percaya diri. Dengan mengandalkan kompasnya ia terus menelusuri belantara. Pun demikian, seorang serdadu marsose-nya mati kelaparan akibat tersesat.

Ketika subuh, dalam dinginnya belantara, tubuh-tubuh serdadu marsose yang kelaparan itu menjadi kaku. Hal seperti itu sudah sering terjadi, bagi pasukan yang dirundung kelaparan dalam perjalanannya. Marsose lainnya pun memotong kayu sebagai pacang yang ujungnya diruncingkan, untuk menggali lobang dan menguburkan kawannya yang mati kelaparan tersebut.

Setelah menguburkan kawannya, seorang marsose bangkit dan mengelilingi kuburan di tengah rimba tersebut. Marsose muda itu berpidato dengan suara keras. “Kita harus tabah….percaya sepenuhnya pada komandan, dan memikul apa yang diembankan kepada kita. Andaikata kita harus menjalaninya, hendaklah kita mati sebagai laki-laki,” katanya.

Kuburan itu kemudian ditandai dengan batu-batu. Mereka menggotong bau-batu besar dalam keadaan letih lesu dan menumpukkan diatas tanah kuburan yang gembur agar babi hutan tidak dapat menggali mayat tersebut.

Mereka melakukan itu karena sebelumnya pernah menemukan sebuah kuburan serdadu marsose Belanda yang mati di tengah hutan telah digali oleh binatang buas, mayatnya pun dicabik-cabik. Setelah kejadian tersebut, setiap ada kematian di hutan belantara, mereka selalu menindih kuburan dengan batu-batu. Seperti pada kematian seorang sersan marsose berjenggot yang bernama Abakotta. Ia dikuburkan dalam perjalanan menuju Tanah Gayo.

Cerita lain, tatkala Schimidt, seorang komandan marsose asli Belanda bersama pasukannya melakukan patroli ke Geumpang, Pidie. Mereka harus mendaki gunung yang curam dan berjalan merangkak. Tiba-tiba dari atas gunung mereka mendapat serangan tembakan dari pejuang Aceh.

Opsir Schimidt hampir saja tewas, kalau seandainya seorang sersan marsose pribumi tidak melindunginya. Banyak serdadu Belanda yang bertugas di Aceh masa perang kolonial adalah orang-orang pribumi nusantara (yang daerahnya sudah lebih dulu dikuasai Belanda). Schimidt selamat dari terjangan peluru sementara sersan pribumi itu tewas dengan peluru menembus jantungnya. Pada malam harinya pasukan mendirikan bivak, dan para pekerja paksa harus menggali sebuah lobang untuk kuburan sersan pribumi dan marsose lainnya yang tewas.

Schmidt duduk di dalam kemahnya dan merenungkan keanehan-keanehan yang bernama nasib itu, yang menjadikan tembakan maut yang diarahkan padanya justeru mengenai orang lain. Salah seorang dari komandan brigade (pasukan setingkat regu/10 orang dimasa sekarang) datang melaporkan dan berkata bahwa “anak-anak marsose” mau bicara sebentar kepadanya.

Schmidt pergi keluar dan dilihatnya sebuah barisan yang rapi, terdiri dari para marsose pribumi dari kedua brigade itu. Seorang yang tertua, berpangkat kopral, menjadi juru bicaranya. Ia berkata hendaknya komandan tidak marah, karena hal ini sangat menyentuh perasaan mereka, kalau mereka harus menguburkan orang sekampungnya di dalam hutan seperti itu, sedang kelak tidak akan ada orang yang tau di mana ia dikuburkan, dan bahwa kuburannya tidak pernah akan di taburi bunga-bunga. Mereka ingin mengangkut jenazah itu sampai ke pos militer.

Schmidt menjawab bahwa sersan itu tewas karena melindungi komandannya. Akan tetapi untuk mencapai Geumpang, pasukan itu masih harus menempuh perjalanan empat hari lagi. “Saya ingin meninggalkan kenangan indah kepadanya, dan kenangan tersebut akan lenyap bila kita berjalan selama beberapa hari dengan mayat berbau busuk. Oleh karena itu dia dikuburkan disini saja,” kata Schimidt.

Serdadu-serdadu itu dapat memakluminya. Mereka memberi hormat, lalu meninggalkan tempat itu sambil mengangkut jenazah keliang kubur. Beberapa serdadu yang memeluk agama Kristen menyanyikan bersama-sama “Het Hijgend gert der jacht ontkomen” sampai selesai. Mereka bernyanyi pada remang-remang senja hari dalam rimba raya, lalu menimbun kuburan itu bersama-sama.

Keesokan harinya, tanah yang gembur itu diinjak-injaknya sampai padat, untuk menjaga agar tidak dibongkar oleh binatang buas. Diatas kuburan itu dibangun sebuah kandang yang terbuat dari kayu serta daun-daun aren. Dibuatkan pula dua buah pancang segi tiga yang ditanamkan dalam tanah, sebagaimana pasukan kalau hendak memasak makanan, dan di antara kaki-kaki pancang segi tiga itu ditaburkan abu api, sehingga kelihatan benar seakan sebuah gubuk yang bekas di huni manusia.

Kemudian berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu. Setengah tahun kemudian kita datang kembali ke tempat itu dan melihat bahwa dari kuburan tersebut telah lahir suatu kehidupan baru. Tongkat-tongkat dahan kayu yang dipotong dari hutan dahulu, telah bertumbuh terus, sehingga semuanya menjadi hutan kembali. Bedanya hanya daun-daunnya lebih rindang dibandingkan dengan tanam-tanaman lain di sekitarnya


Peristiwa lainnya, seorang Sersan Marsose asal Belanda dalam perjalanan patroli di dekat jeuram, Aceh Barat merasa kelelahan. Ia lalu pergi duduk-duduk sebentar di atas sebuah lesung penumbuk beras dan meninggal dunia. Mayatnya diangkut ke bivak dan dikuburkan beberapa ratus meter jauhya di bawah sebatang pohon durian.

Tiga brigade serdadu Marsose berdiri mengelilingi kuburan itu dan salah seorang diantaranya harus mengucapkan pidato singkat, “Kamu yang harus melakukannya!” kata salah seorang di antara mereka. Tetapi orang itu menolak, karena hal ini dianggapnya bukan suatu pekerjaan, yakni mengutarakan kebaikan-kebaikan seseorang yang kini telah terbaring dalam liang kubur.

Lalu majulah kedepan seorang serdadu pribumi, yakni seseorang yang sering main komedi bangsawan. Ia berpidato dikuburan itu. Dalam pidatonya ia mengutarakan bahwa pasukan brigade senantiasa merasa senang dalam pergaulannya dengan almarhum selama ini. Dia berbicara terus dengan fasihnya seperti. Namun untuk penutup kata-katanya, ia kebingungan mencari kata yang tepat. Tiba-tiba ia mendapat ilham dan berkata, “Sekarang, Sersan kita semua sudah mati, dan saya minta agar kalian menyerukan tiga kali’hip, hip, hurah!”

Permintaan itu segera disambut dan dipenuhi segenap serdadu disitu. Sudah tentu sorak ‘hip, hip, hurah’ yang pastinya hanya dipakai dalam suasana gembira dari segi etika tidak mengena dibandingkan dengan pidato singkat pemakaman yang diucapkan sersan untuk rekannya yang telah meninggal.

Sambil berdiri dipinggir liang kubur, matanya sejenak memandang ke peti mati, lalu terlontarlah kata-kata dari mulut serdadu pribumi itu: “Kini kau telah terbaring disitu. Kami tak dapat melihatmu lagi. Keluargamu di Rotterdam pun tidak pula.
Tetapi hanya Dia (Tuhan )yang diatas dapat melihatmu. Tabahlah!”

Direvisi dan dicuplk dari sumber:http://iskandarnorman.multiply.com/reviews/

1 comment:

winarno said...

Mas, mantap sekali tulisannya.
menambah wawasan tentang sejarag anak bangsa..kalu boleh tahu kayaknya terinsprisasi sekali dengan marsose??

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...