Disebelah timur kota Yogyakarta terdapat sebuah sungai yang membujur dari utara keselatan, bernama sungai (kali) Gajah wong. Sungai ini bakalan dilintasi oleh orang-orang yang bepergian melalui jalan solo (dekat IAIN), jalan kusumanegara (dekat Kebun Binatang Gembira loka) atau jalan ngeksigondo yang menuju Kotagede. Sebagai tempat yang kaya akan adat dan tradisi, Yogyakarta punya berbagai kisah dan legenda. Termasuk keberadaan sungai Gajah Wong ini, berikut ini Legenda sungai Gajah wong yang Jogjaicon repost dari tulisan karya Henry Artiawan yudistira di Blog Cerita Rakyat Indonesia. Selamat menikmati.
Dalam kisah disebutkan, Kerajaan Mataram pernah berpusat di Kotagede, kurang lebih 7 kilometer arah tenggara kota Yogyakarta. Pada waktu itu Kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo yang mempunyai beribu-ribu prajurit, termasuk pasukan berkuda dan pasukan gajah (Sultan Agung adalah raja Mataram yang menyerang kedudukan VOC Belanda di Batavia.Jogjaicon). Kanjeng sultan juga mempunyai abdi dalem-abdi dalem yang setia. Di antara abdi dalem itu terdapat seorang srati, bernama Ki Sapa Wira.
Setiap pagi, gajah Sultan yang bernama Kyai Dwipangga itu selalu dimandikan oleh Ki Sapa Wira di sungai di dekat Kraton Mataram. Oleh karena itu, gajah dari Negeri Siam itu selalu menurut dan terbiasa dengan perlakuan lembut Ki Sapa Wira. Pada suatu hari, Ki Sapa Wira sakit bisul di ketiaknya sehingga ia tidak bisa bergerak bebas, apalagi harus bekerja memandikan gajah. Oleh karena itu, Ki Sapa Wira menyuruh adik iparnya yang bernama Ki Kerti Pejok untuk menggantikan pekerjaannya. Sebenarnya, nama asli Ki Kerti Pejok adalah Kertiyuda. Namun karena terkena penyakit polio sejak lahir sehingga kalau berjalan meliuk-liuk pincang atau pejok menurut istilah Jawa, maka ia pun dipanggil Kerti Pejok.
"Tolong gantikan aku memandikan Kyai Dwipangga, Kerti,” kata Ki Sapa Wira.
“Baik, Kang,” jawab Ki Kerti. “Tapi bagaimana jika nanti Kyai Dwipangga tidak mau berendam, Kang?” sambungnya.
“Biasanya aku tepuk kaki belakangnya, lalu aku tarik buntutnya,” jawab Ki Sapa Wira.
Pagi itu Ki Kerti sudah berangkat menuju sungai bersama Ki Dwipangga. Badan gajah itu dua kali lipat badan kerbau, belalainya panjang, dan gadingnya berwarna putih mengkilat. Ki Kerti Pejok membawakan dua buah kelapa muda untuk makanan Ki Dwipangga agar gajah itu patuh kepadanya.
“Nih, ambillah untuk sarapan,” celetuk Ki Kerti sambil melemparkan sebuah kelapa muda ke arah Ki Dwipangga.
“Prak” kelapa itu ditangkap oleh Ki Dwipang¬ga dengan belalainya lalu dibanting pada batu besar di pinggir jalan. Dua buah kelapa sudah terbelah, dan Ki Dwipangga memakannya dengan lahap. Belum habis kelapa yang kedua, Ki Kerti sudah menyuruh Ki Dwipangga untuk berdiri dan berjalan lagi. Dipukulnya pantat gajah itu dengan cemeti yang dibawanya.
Setibanya di sungai, Ki Kerti menyuruh Ki Dwipangga untuk berendam. Sesaat kemudian, Ki Kerti segera memandikan gajah itu. Ia menggosok-gosok tubuh gajah tersebut dengan daun kelapa supaya lumpur-lumpur yang melekat cepat hilang. Setelah bersih, gajah itu segera dibawa pulang oleh Ki Kerti menuju kandangnya.
“Kang, gajahnya sudah saya mandikan sampai bersih,” lapor Ki Kerti kepada Ki Sapa Wira.
“Ya, terima kasih. Aku harap besok pagi kamu pergi memandikan Ki Dwipangga lagi. Setiap hari gajah itu harus dimandikan, apalagi pada saat musim kawin begini,” jawab Ki Sapa Wira sambil menghisap cerutunya.
Keesokan harinya, pagi-pagi Ki Kerti mendatangi rumah Ki Sapa Wira untuk menjemput Ki Dwipangga. Pagi itu langit kelihatan mendung, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Segera Ki Kerti Pejok membawa Ki Dwipangga menuju sungai. Kali ini Ki Kerti Pejok agak kecewa karena sungai tempat memandikan gajah tersebut kelihatan dangkal. ‘Mana mungkin dapat memandikan gajah jika untuk berendam pun tidak bisa,’ pikir Ki Kerti Pejok. Kemudian ia membawa Ki Dwipangga ke arah hilir untuk mencari genangan sungai yang dalam.
“Ah, di sini kelihatannya lebih dalam. Aku akan memandikan Ki Dwipangga di sini saja. Dasar, Kanjeng Sultan orang yang aneh. Sungai sekecil ini kok digunakan untuk memandikan gajah,” gerutu Ki Kerti Pejok sambil terus menggosok punggung Ki Dwipangga.
Belum habis Ki Kerti Pejok menggerutu, tiba-tiba banjir bandang datang dari arah hulu.
“Hap … Hap … Tulung … Tuluuung …,” teriak Ki Kerti Pejok sambil melambai-lambaikan tangannya.
Ia hanyut dan tenggelam bersama Ki Dwipangga hingga ke Laut Selatan. Keduanya pun meninggal karena tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya.
Untuk mengingat peristiwa tersebut, Sultan Agung menamakan sungai itu Kali Gajah Wong, karena kali itu telah menghanyutkan gajah dan wong. Sungai itu terletak di sebelah timur kota Yogyakarta. Konon, tempat Ki Kerti memandikan gajah itu saat ini bersebelahan dengan kebun binatang Gembiraloka.
Keterangan cerita:
Kanjeng : tuan.
Abdi dalem : pegawai istana, pembantu raja.
Srati : orang yang pekerjaannya mengurusi gajah.
Kang : kak, kakak, panggilan untuk kakak laki-laki.
Buntut : ekor.
Tulung : tolong.
Kali : sungai.
Wong : orang.
Penulis cerita gajah wong: Henry Artiawan Yudhistira
Sumber postingan : CERITA RAKYAT INDONESIA BLOG
Sumber gambar: Archive Kaskus
Setiap pagi, gajah Sultan yang bernama Kyai Dwipangga itu selalu dimandikan oleh Ki Sapa Wira di sungai di dekat Kraton Mataram. Oleh karena itu, gajah dari Negeri Siam itu selalu menurut dan terbiasa dengan perlakuan lembut Ki Sapa Wira. Pada suatu hari, Ki Sapa Wira sakit bisul di ketiaknya sehingga ia tidak bisa bergerak bebas, apalagi harus bekerja memandikan gajah. Oleh karena itu, Ki Sapa Wira menyuruh adik iparnya yang bernama Ki Kerti Pejok untuk menggantikan pekerjaannya. Sebenarnya, nama asli Ki Kerti Pejok adalah Kertiyuda. Namun karena terkena penyakit polio sejak lahir sehingga kalau berjalan meliuk-liuk pincang atau pejok menurut istilah Jawa, maka ia pun dipanggil Kerti Pejok.
"Tolong gantikan aku memandikan Kyai Dwipangga, Kerti,” kata Ki Sapa Wira.
“Baik, Kang,” jawab Ki Kerti. “Tapi bagaimana jika nanti Kyai Dwipangga tidak mau berendam, Kang?” sambungnya.
“Biasanya aku tepuk kaki belakangnya, lalu aku tarik buntutnya,” jawab Ki Sapa Wira.
Pagi itu Ki Kerti sudah berangkat menuju sungai bersama Ki Dwipangga. Badan gajah itu dua kali lipat badan kerbau, belalainya panjang, dan gadingnya berwarna putih mengkilat. Ki Kerti Pejok membawakan dua buah kelapa muda untuk makanan Ki Dwipangga agar gajah itu patuh kepadanya.
“Nih, ambillah untuk sarapan,” celetuk Ki Kerti sambil melemparkan sebuah kelapa muda ke arah Ki Dwipangga.
“Prak” kelapa itu ditangkap oleh Ki Dwipang¬ga dengan belalainya lalu dibanting pada batu besar di pinggir jalan. Dua buah kelapa sudah terbelah, dan Ki Dwipangga memakannya dengan lahap. Belum habis kelapa yang kedua, Ki Kerti sudah menyuruh Ki Dwipangga untuk berdiri dan berjalan lagi. Dipukulnya pantat gajah itu dengan cemeti yang dibawanya.
Setibanya di sungai, Ki Kerti menyuruh Ki Dwipangga untuk berendam. Sesaat kemudian, Ki Kerti segera memandikan gajah itu. Ia menggosok-gosok tubuh gajah tersebut dengan daun kelapa supaya lumpur-lumpur yang melekat cepat hilang. Setelah bersih, gajah itu segera dibawa pulang oleh Ki Kerti menuju kandangnya.
“Kang, gajahnya sudah saya mandikan sampai bersih,” lapor Ki Kerti kepada Ki Sapa Wira.
“Ya, terima kasih. Aku harap besok pagi kamu pergi memandikan Ki Dwipangga lagi. Setiap hari gajah itu harus dimandikan, apalagi pada saat musim kawin begini,” jawab Ki Sapa Wira sambil menghisap cerutunya.
Keesokan harinya, pagi-pagi Ki Kerti mendatangi rumah Ki Sapa Wira untuk menjemput Ki Dwipangga. Pagi itu langit kelihatan mendung, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Segera Ki Kerti Pejok membawa Ki Dwipangga menuju sungai. Kali ini Ki Kerti Pejok agak kecewa karena sungai tempat memandikan gajah tersebut kelihatan dangkal. ‘Mana mungkin dapat memandikan gajah jika untuk berendam pun tidak bisa,’ pikir Ki Kerti Pejok. Kemudian ia membawa Ki Dwipangga ke arah hilir untuk mencari genangan sungai yang dalam.
“Ah, di sini kelihatannya lebih dalam. Aku akan memandikan Ki Dwipangga di sini saja. Dasar, Kanjeng Sultan orang yang aneh. Sungai sekecil ini kok digunakan untuk memandikan gajah,” gerutu Ki Kerti Pejok sambil terus menggosok punggung Ki Dwipangga.
Belum habis Ki Kerti Pejok menggerutu, tiba-tiba banjir bandang datang dari arah hulu.
“Hap … Hap … Tulung … Tuluuung …,” teriak Ki Kerti Pejok sambil melambai-lambaikan tangannya.
Ia hanyut dan tenggelam bersama Ki Dwipangga hingga ke Laut Selatan. Keduanya pun meninggal karena tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya.
Untuk mengingat peristiwa tersebut, Sultan Agung menamakan sungai itu Kali Gajah Wong, karena kali itu telah menghanyutkan gajah dan wong. Sungai itu terletak di sebelah timur kota Yogyakarta. Konon, tempat Ki Kerti memandikan gajah itu saat ini bersebelahan dengan kebun binatang Gembiraloka.
Keterangan cerita:
Kanjeng : tuan.
Abdi dalem : pegawai istana, pembantu raja.
Srati : orang yang pekerjaannya mengurusi gajah.
Kang : kak, kakak, panggilan untuk kakak laki-laki.
Buntut : ekor.
Tulung : tolong.
Kali : sungai.
Wong : orang.
Penulis cerita gajah wong: Henry Artiawan Yudhistira
Sumber postingan : CERITA RAKYAT INDONESIA BLOG
Sumber gambar: Archive Kaskus
1 comment:
Sedikit koreksi dari saya;
1. Makam gajah dan pekatiknya ada di 'Kuburan Gajah' sebelah timur Taman Makam Pahlawan Kusumanegara (Makam nDoro Purbo, ketimur lagi)100 meter.
2.Peristiwanya tidak jaman Mataram Islam, tapi dah jaman Keraton Jogja sekarang dimana kandang gajahnya di ngGajahan, barat alun-alun selatan.
3. Nama Kali Gajah Wong hanya di bagian utara Gembiroloka sampai museum Affandi ke utara. Kalo Gembiraloka ke selatan orang nyebutnya Kali Putih (Karena dulu ada perkebunan Kayu Putih) dekat jembatan Kali Putih. Kalo sudah masuk Kota Gedhe, orang menyebut Kali Winong (jadi inget Soto Winong nich!)samapi jembatan Tegal Gendhu ke selatan.
4. Jika Merapi hujan deras, Kali Gajah Wong juga ikut banjir, banjir besar terakhir sekitar 3 tahun lalu dimana satu rumah hampir hanyut (timur Jembatan Winong)dan Hotel Bintang Fajar mengalami kerusakan di bagian belakang. Jembatan ditutup separo utk perbaikan selama sebulan. Jadi banjirnya Kali Gajah Wong adalah fenomena alam biasa, bukan klenik.
5. Jaman Sultan Agung tidak ada yang merokok, apalagi cerutu, apalagi yang ngisep seorang pekatik. Satu-satunya yang merokok hanya Sultan Agung sendiri dan beliau melarang rakyatnya merokok. Kebiasaan masyarakat waktu itu ya nginang baik laki-laki maupun perempuan. Ini berdasarkan catatan2 utusan Gubernur Hindia Belanda di Batavia yang ditugaskan berdiplomasi dengan Sultan Agung. Semua hal yang ia lihat dalam kunjungannya di kerajaan Mataram dicatat dan aslinya masih disimpan di museum Belanda. Suami dulu punya salinannya, tapi hilang secara tidak sengaja (katut di-kilokke oleh Ibu Mertua kepada prombengan keliling). Mudah-mudahan ini bisa jadi pelengkap 'Legenda Kali Gadjah Wong'.
5. Kalo jaman Sultan Agung pusat kerajaan ada di desa kraton(Plered kecamatan Wonokromo), trus klo mandiin gajahnya di timur SGM...kejauhan Mas,..lha becakane niku...xixixi..bercanda!!!
Post a Comment