Buaya seringkali disebut sebagai jenis fauna yang berhasil bertahan hidup sejak zaman dinosaurus. Hal itu benar sejauh yang bisa dijelaskan: buaya modern telah ada selama kira-kira 80 juta tahun. Namun mereka hanya contoh kecil dari seluruh jenis buaya yang pernah berkeliaran di planet ini—bahkan, faktanya pernah menguasai planet bumi ini.
Crurotarsan (istilah yang digunakan ahli paleontologi untuk menyebut semua kerabat buaya) muncul sekitar 240 juta tahun lampau, kasarnya, pada saat yang sama dengan masa dinosaurus. Selama periode Triasik (periode geologi 251 juta-199 juta tahun lalu), leluhur buaya berevolusi menjadi beragam makhluk yang hidup di permukaan tanah, mulai dari makhluk langsing berkaki panjang seperti serigala, hingga predator menakutkan yang menduduki puncak rantai makanan. Beberapa di antaranya, seperti Effigia, terkadang berjalan dengan kedua kaki belakangnya dan mungkin merupakan herbivora. Begitu dominannya crurotarsan di daratan sehingga dinosaurus hanya dapat hidup di lingkungan ekologi yang sempit dengan ukuran badan yang tetap kecil dan jumlah yang jarang.
Pada ahir periode Triasik sekitar 200 juta tahun lalu, sebuah bencana yang belum diketahui berupa apa menyapu sebagian besar crurotarsan. Karena daratan akhirnya bebas dari pesaing, dinosaurus mengambil alih kekuasaan. Pada saat yang bersamaan, pemangsa besar yang hidup di air seperti plesiosaurus telah berevolusi di lautan sehingga hanya menyisakan sedikit tempat bagi jenis makhluk lainnya. Buaya-buaya yang berhasil bertahan hidup mengambil bentuk keragaman yang baru, tetapi pada akhirnya mereka hidup seperti keturunannya saat ini, yaitu hanya di tempat-tempat yang mereka mampu seperti sungai, tanah paya, dan rawa.
Relung ekologi yang terbatas mungkin jadi penghambat kesempatan makhluk-makhluk itu untuk berevolusi—tetapi mungkin juga menyelamatkan mereka. Banyak spesies buaya yang berhasil selamat dari kemusnahan masif K-T (Kretaseus-Tersier) 65 juta tahun silam, ketika sebuah asteroid menyebabkan kematian masal dinosaurus (terkecuali burung, yang kini dipandang sebagai dinosaurus masa belakangan) dan sejumlah besar makhluk hidup lainnya yang ada di darat dan lautan. Tidak ada yang tahu mengapa buaya dapat bertahan hidup di saat begitu banyak makhluk hidup lainnya mati dalam peristiwa itu, tetapi habitat mereka yang berupa air tawar dapat jadi satu penjelasan: secara umum, spesies air tawar bertahan lebih baik dalam peristiwa K-T dibandingkan dengan binatang laut yang kehilangan habitat dangkalnya secara meluas seiring menurunnya permukaan air laut. Makanan spesies air tawar yang sangat beragam dan kemampuannya sebagai binatang berdarah dingin (dengan tingkat detak jantung yang rendah) juga membantu mereka bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama tanpa makanan.
Setelah dinosaurus daratan dan monster laut musnah, mengapa buaya tidak mengambil alih kekuasaan di Bumi untuk selamanya? Sebabnya, saat itu mamalia memulai periode evolusi untuk menjadi penguasa dunia. Selama waktu itu sebagian besar jenis buaya mati, menyisakan jenis yang bertubuh pendek gemuk dan berkaki pendek yang kita kenal.
“Perubahan utama dalam upaya pelestarian jenis buaya saat ini adalah menurunnya perburuan ilegal untuk mendapatkan kulit buaya,” kata John Thorb-jarnarson yang merupakan peneliti ahli dari Wildlife Conservation Society. Perburuan ilegal telah digantikan dengan peternakan legal yang terkelola dan pemanenan kulit dari peternakan yang memberi kesempatan kepada sejumlah spesies untuk meningkatkan kembali jumlahnya. “Dua puluh tahun yang lalu diperkirakan sekitar 15 atau 20 spesies masuk dalam daftar langka,” kata Thorb-jarnarson, “Namun saat ini hanya tinggal tujuh jenis, kesemuanya mencerminkan dampak dari kehilangan sebagian besar habitat.”
Spesies seperti aligator China dan buaya Filipina nyaris tidak punya habitat alami yang tersisa. Spesies-spesies itu terdesak keluar dari habitatnya karena pengembangan lahan pertanian dan permukiman. Bahkan spesies yang menunjukkan respon positif terhadap pendekatan konservasi menghadapi masalah serupa dalam skala yang lebih besar yaitu: persinggungan, dan seringkali konflik dengan manusia.
Senyulong India, spesies bermoncong panjang kurus yang dahulu tersebar dari Pakistan hingga Myanmar, menderita kemerosotan populasi yang serius pada pertengahan abad 20. Pemulihan populasi pada 1980-an dan 1990-an terjadi berkat penurunan jumlah perburuan liar dan penetapan suaka margasatwa. Hal itu memberikan dasar bagi para pelestari satwa liar untuk percaya bahwa spesies tersebut telah lolos dari bahaya. Namun survei yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa jumlah senyulong kembali menurun drastis, kali ini mencapai status kritis.
Senyulong hanya memangsa ikan dan membutuhkan habitat khusus berupa sungai berarus deras dengan tepian berpasir. Beberapa penyebab penurunan jumlah jenis tersebut termasuk dibunuh para pemancing (yang memandang spesies itu sebagai pesaing), tenggelam dalam libatan jala, dan perusakan habitat oleh penambangan pasir dan aktivitas manusia lainnya. Sebagai tambahan, antara Desember 2007 dan Februari 2008 populasi senyulong di Sungai Chambal, India, mengalami penurunan dalam jumlah yang signifikan. Para ahli biologi dipercaya penurunan itu disebabkan oleh polusi. Populasi senyulong liar telah menyusut menjadi hanya beberapa ratus yang hidup di India dan Nepal saja.
Beberapa jenis buaya yang ditemukan di wilayah terpencil di seluruh dunia tidaklah terpapar bahaya secara langsung, dan jenis lainnya seperti aligator Amerika telah pulih secara dramatis. Namun tetap perlu diperhatikan berapa banyak yang bisa bertahan hidup dalam kondisi di mana tempat tinggal mereka di daerah lahan basah diinginkan oleh manusia, mulai dari petani subsistens hingga perancang lapangan golf—dan beberapa spesies turut membuat buaya semakin tidak diterima di dalam lingkungan tersebut dengan memakan hewan peliharaan bahkan manusia.
Meskipun buaya diyakini sebagai cikal-bakal mitos tentang naga zaman purba, semua jenis buaya dan leluhur mereka telah menghadapi perubahan dunia yang nyaris tak terbayangkan dan tetap menemukan cara untuk beradaptasi terhadap semuanya. Seiring dengan semakin cepatnya laju perubahan lingkungan, tantangan terbesar yang menghadang makhluk hidup ini semakin mendekat.
(Source: : --mel_white-- http://nationalgeographic.co.id/)
No comments:
Post a Comment