January 20, 2011

MARSOSE: Pasukan Kontra-Gerilya Kolonial Belanda

Profil serdadu Marsose dalam gambar

Sejak perlawanan gerilya dilancarkan oleh para pejuang Muhahiddin Aceh dalam Perang Kolonial Aceh yang berkepanjangan, Pemerintah Kolonial Belanda kehilangan kontrol atas situasi di Aceh secara umum, terlebih ketika sistem lini konsentrasi diterapkan. Awal upaya tentara Belanda untuk mengatasi aksi gerilya baru diadakan pada masa lini konsentrasi. Pada 30 Oktober 1889 dibentuk 2 detasemen “pengawal mobil” untuk melakukan patroli di sepanjang lini. Satu detasemen ditempatkan di Keutapang Dua dipimpin oleh Letnan Satu I. M. van de Ende, dan satu detasemen ditempatkan di Lam Peuneurut (Sekarang berada di pinggir kota Banda Aceh) dipimpin oleh Letnan Dua M. Neelmeyer. Kedua detasemen ini merupakan cikal bakal Korps Marechaussee yang dibentuk 6 bulan kemudian.

Sementara itu, kehandalan kedua detasemen tersebut dan kegigihan gerilyawan Aceh melahirkan kekaguman dan inspirasi pada Mohamad Sjarif, komisaris di kantor Gubernur Sipil dan Militer Aceh, mantan jaksa di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) kelahiran Minangkabau. Mohamad Sjarif menyarankan kepada pemerintah Belanda supaya membentuk sebuah unit yang terdiri atas orang-orang yang gagah berani, mampu bertempur dan berkelahi sedemikian dekatnya dengan lawan hingga bisa menatap putih mata lawannya.

Gagasan tersebut disambut oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh dengan membentuk satu divisi kesatuan khusus bernama Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden (Korp Marsose Aceh dan daerah takluknya) pada 2 April 1890 dengan komandan yang pertama dijabat oleh Kapten G. G. J. Notten. Di antara kesatuan-kesatuan KNIL lainnya, Marsose dikenal memiliki keunikan. Kata “marechaussee” sendiri berarti polisi militer. Tetapi, tugas unit ini bukan sebagai provost atau semacam dinas keamanan internal KNIL, melainkan sebagai unit tempur darat seperti kesatuan infantri lainnya. Sebab, Marsose di bawah perintah langsung Gubernur Sipil dan Militer yang mempunyai kekuasaan kepolisian (sipil) dan militer.

Selain itu, struktur organisasi Marsose lebih ramping, hanya terdiri atas 4 tingkatan satuan. Namun, tingkatan dan urutan satuan pada masa itu berbeda dengan susunan organisasi militer pada masa kini.Tingkatan satuan tertinggi adalah Korps, dipimpin seorang kolonel. Di bawahnya adalah Divisi, dipimpin oleh seorang kapten. Di bawah divisi adalah Kompi, dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan dua, atau satuan setingkatnya, Detasemen, yang dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan dua. Terakhir, tingkatan satuan terendah adalah Brigade, dipimpin oleh seorang bintara/sersan dengan jumlah anggota berkisar 10-12 orang (pada masa kini setara dengan regu).



Lambang Kebesaran Korps Marsose

Hingga tahun 1904, Korps Marechaussee memiliki 6 divisi yang tersebar di beberapa tempat di wilayah Aceh Besar. Setiap divisi terdiri atas 4 kompi, dan setiap kompi terdiri atas 4 brigade.

Keunikan lainnya adalah anggota Marsose merupakan orang-orang pilihan dari KNIL, dan sebagian besar adalah bumiputra Nusantara. Anggota dari kalangan bumiputra ini biasanya direkrut dari etnis di wilayah yang telah ditaklukkan oleh Belanda, misalnya Ambon, Menado, Jawa, Sunda, dan Timor. Meskipun mayoritas anggota adalah kaum bumiputra, namun dalam sistem kepangkatan, KNIL mengikuti kebijakan penggolongan penduduk di Hindia Belanda yang diskriminatif. Di Korps Marsose ini, bumiputera hanya dapat mengisi posisi bintara (sersan) dan tamtama (prajurit), sedangkan orang Belanda, Eropa dan Indo-belanda menempati posisi tamtama, bintara dan perwira. Meskipun demikian, suasana pergaulan antar anggota tidak menjadi diskriminatif secara ras, tetap hanya secara golongan kepangkatan.

Setiap anggota Marsose harus memiliki keahlian khusus dan kemampuan individual yang tinggi. Sebab, kemampuan tersebut sangat diperlukan dalam patroli-patroli mobile, terlebih ketika sistem Lini Konsentrasi dihapuskan pada tahun 1896, Marsose sering harus melakukan patroli-patroli jarak jauh menembus hutan belantara atau menyusuri rawa dan pantai untuk menjejaki para pemimpin perlawanan Aceh. Karena diperlukan mobilitas yang tinggi, maka setiap orang harus membawa perbekalan dan memasak makanannya sendiri. Kemandirian ini yang membedakan Marsose dengan kesatuan lainnya. Dalam operasi militer gabungan, sering dijumpai sebuah situasi, pada saat anggota pasukan infantri marah-marah karena barisan tukang masak dan pembawa perbekalan tertinggal jauh, para Marsose sedang memasak makanan mereka. Di samping itu, umumnya para perwira Marsose mampu berbahasa Aceh lengkap dengan dialeknya. Kemampuan berbahasa daerah mutlak diperlukan untuk menggali informasi dari masyarakat.

Selain itu, kesatuan Marsose ini mendapat perlengkapan dan persenjataan yang agak berbeda dengan kesatuan KNIL lainnya. Setiap orang dipersenjatai dengan sepucuk senapan tanpa bayonet, tempat peluru, sebilah kelewang serta diperlengkapi dengan ransel perbekalan. Sejak tahun 1890, kesatuan Marsose sudah dipersenjatai dengan modern untuk saat itu, yaitu karaben Beaumont Mk I, sejenis senapan repetir (repeater) yang mempunyai tempat peluru berselongsong (magasen). Kesatuan reguler KNIL lainnya pada saat itu masih menggunakan senapan lantak. Kemudian, sejak tahun 1896, kesatuan Marsose mengganti helm besi yang tidak praktis dengan topi rimba dari anyaman bambu. Kelak, topi rimba ini menjadi trend di kesatuan infantri KNIL lainnya.


Brigade Marsose berpatroli di pedalaman Aceh

Sistem pelatihan anggota dibuat sedemikian rupa supaya Marsose mampu melakukan kontragerilya. Setiap anggota Marsose dilatih perkelahian jarak dekat dengan menggunakan kelewang. Latihan ini membuat anggota Marsose umumnya mahir menggunakan pedang atau floret. Kondisi fisik dan stamina mereka juga dibentuk dengan kuat karena mereka harus melakukan patroli jalan kaki jarak jauh (Long Range Patrol). Di samping itu, keahlian membaca jejak pun terus diasah karena diperlukan untuk menjejaki lawan hingga ke sarangnya.

Untuk menumbuhkan kebanggaan pada para Marsose, maka diciptakan simbol-simbol kesatuan, seperti lambang kesatuan dan panji kesatuan. Kesatuan ini memakai lambang trisula berwarna kuning emas yang disematkan pada kraag (kerah) seragam. Orang-orang Aceh menyebutnya dengan “Tiga Jari”.

Para Marsose sangat bangga dengan Korpsnya tersebut. Tidak hanya karena keunikan yang mereka miliki, tetapi juga karena prestasi gemilang dan kisah-kisah keberanian dalam pertempuran turut mengharumkan nama Korps ini. Kebanggaan ini menjadikan kesatuan ini sangat solid dan akan melekat hingga para Marsose pensiun dari dinas militer. Terlebih bagi mereka yang pernah bertugas di Aceh. Pengalaman bertugas di Aceh sangat membekas dalam ingatan veteran Marsose karena beratnya medan perang dan lawan (Para pejuang Mujahiddin Aceh) yang harus mereka hadapi. Sering para veteran Marsose ini dalam merayakan ulang tahun Korps Marsose setiap 2 April menghadirkan suasana Aceh untuk bernostalgia, dengan sengaja menyajikan menu hidangan khas Aceh seperti kue Timphan, Kuah Plik'ue, Kue Aceh dan lain-lain.

Sumber:http://ristadiwidodo.blogspot.com/

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...