Sejak dibentuk pada 2 April 1890 hingga 1896, Marsose lebih banyak bertugas di sekitar Lini Konsentrasi karena periode tersebut masih dalam kebijakan defensif yang berkonotasi menunggu para pejuang Aceh menyerahkan diri ke benteng-benteng di sepangjang lini. Peranan yang lebih luas mulai diberikan pada tahun 1896, ketika sistem Lini Konsentrasi dihapuskan setelah Teuku Umar kembali melawan Belanda. Sejak itu marsose melakukan aksinya secara sistematis menurut kebijakan perang kolonial. Kebijakan dalam perang kolonial di Aceh banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje berpendapat bahwa gerakan perlawanan Aceh bersifat tradisional, karena hanya bisa timbul jika dipimpin oleh tokoh masyarakat dari kalangan bangsawan atau pun ulama dan cakupannya lokal. Untuk mematahkan gerakan perlawanan itu, maka pemimpin perlawanan harus dipisahkan dari tubuh kelompoknya.
Karena itu untuk mendapatkan pemimpin perjuangan Aceh, unit-unit marsose bisa selama berbulan-bulan mengejar dan menjejaki kelompok itu. Sering terjadi bahwa akibat tidak tahan dikejar-kejar akhirnya beberapa tokoh pejuang Aceh terpaksa menyerahkan diri. Namun, sering pula para pejuang Aceh memilih berkelahi sampai gugur saat pertempuran dengan unit-unit marsose tidak terelakkan lagi. Seperti contoh Pejuang wanita Aceh, Tjut Nyak Dhien (Istri Teuku Umar) yang lebih memilih melawan sampai mati daripada menyerah. Namun karena faktor usia dan penglihatan yang kurang, Tjut Nyak Dhien berhasil ditangkap hidup oleh Pasukan Marsose. Berbagai prestasi tersebut mengangkat nama Korps Marechaussee dan menempatkannya sebagai kesatuan elite di jajaran KNIL dan di mata masyarakat Belanda.
Namun tidak semua tindakan Marsose disukai masyarakat Belanda. Sebuah operasi militer dianggap melewati batas, bahkan sebagian masyarakat Belanda menilainya sebagai kekejaman yang memalukan umat manusia di abad ke-20. Operasi militer tersebut dilakukan oleh sebuah pasukan ekspedisi Marsose bernama Kolone Macan (Tijger Kolone) pimpinan Letnan Christoffel di daerah Pidie pada tahun 1904.
Peristiwa yang berlangsung di tengah-tengah gencarnya pelaksanaan Politik Ethis itu segera mendapat sorotan dan kecaman dari masyarakat di negeri Belanda. Peristiwa itu dirasakan sangat bertentangan dengan semangat ethis yang ingin mengangkat nasib bumiputera, sementara di saat yang sama pembantaian bumiputera dilakukan di Aceh.
Penyelidikan yang dilakukan akhirnya menyeret dua orang perwira pertama ke hadapan oditur. Proses pengadilan itu rupanya tidak memuaskan salah seorang perwira itu, karena penanggung jawab operasi itu, Kolonel Van Daalen, tidak diadili. Meskipun keputusan pengadilan membebaskan kedua perwira itu dari tuduhan, namun mereka merasa karir militer mereka tidak ada harapan lagi.
Meski dalam komposisi pasukan marsose terdapat unsur pribumi, tetaplah sebagian besar bangsa Indonesia memandang Korps Marsose dibentuk untuk mendukung politik penjajahan. Karena itu banyak pejuang Aceh yang melakukan perlawanan keras terhadap tentara Belanda. Keandalan dan keberanian gerilyawan Aceh dalam pertempuran memang sudah diakui pihak Belanda. Dalam aksinya, gerilyawan Aceh sering melakukan penyerangan terhadap patroli-patroli Belanda dan melakukan perkelahian jarak dekat, dan setelah itu menghilang kembali ke hutan, kadang sambil membawa senjata rampasan dari patroli yang dikalahkan. Korps Marechaussee merupakan salah satu alat kebijakan Belanda dalam mengontrol situasi keamanan di Aceh, sehingga Belanda pada akhirnya dapat mengurangi perlawanan besar bersenjata dari pejuang Aceh. Tetapi perlawanan kecil yang bersifat sporadis tetap berlangsung sampai berakhirnya kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda pada tahun 1942. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Belanda tidak pernah menginjakkan kakinya kembali di Aceh.
Sumber:http://ristadiwidodo.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment