Jika di Jakarta, becak diburu, dimusnahkan dan dilarang beroperasi, sebaliknya Kota Yogyakarta malah layak disebut sebagai “kota becak”. Tanpa terpengaruh oleh aksi-aksi pemusnahan dan pelarangan becak di kota-kota besar Indonesia lainnya, Yogyakarta justru dihidupi dan menghidupi becak-becaknya.
Hal ini ditegaskan kembali oleh pernyataan Walikota Yogyakarta dan wakilnya di tahun 2004 lalu, bahwa "Becak harus tetap dipertahankan sampai umur kota Yogyakarta habis”. Yogyakarta dan becak seolah telah menjadi dua sisi dari mata uang yang sama.
Mengapa becak bisa terus eksis di Yogyakarta? Berikut beberapa latar belakangnya:
Pertama, keberadaan becak Yogyakarta dianggap telah menjadi bagian dari identitas budaya Yogyakarta, yaitu: budaya Jawa. Gusti Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan bahwa becak dapat dijadikan ciri penanda budaya Jawa, sehingga harus dijaga kelangsungan hidupnya. Pernyataan Junjungan Kawula Jogja ini telah membuka harapan bagi komunitas tukang becak (yang jelas dari kalangan “kawula alit”) memperkuat legitimasi becaknya, yang terkait dengan konteks Yogyakarta yang khas dan “lain daripada yang lain” (baca: Istimewa). Reproduksi citra Yogya “yang lain” ini, selain dilakukan oleh tukang becak dan masyarakat kecil itu, juga terus-menerus direproduksi oleh berbagai media; keduanya menyatakan ‘kehadiran’ becak tidak terpisahkan dengan sejarah dan budaya kota Yogyakarta.
Kedua, keberadaan becak Yogyakarta telah mengakar menjadi bagian dari sistem transportasi kota, ketika ia juga mulai menjadi bagian dari turisme. Becak memang merupakan kendaraan multifungsi dan tampaknya selalu ada saja becak yang tersedia setiap saat, pagi atau malam, tak seperti taksi atau bus. Pemandangan seperti ini telah membentuk suatu kecenderungan, terutama di kalangan turis asing, untuk meromantisir tukang becak. Para turis kulit putih sering memiliki tukang becak ‘pribadi’ selama masa tinggal mereka, kemudian menuliskan pengalaman serta persahabatan mereka dengan sang tukang becak di Internet.
Dalam sistem transportasi kota, posisi becak telah menjadi bagian dari sistem kebijakan aturan kota dan sistem moda transportasi yang memiliki fungsi masing-masing, justru karena becak telah menjadi bagian kuat dari pariwisata kota sejak dulu. Transportasi Yogyakarta terbentuk seiring dengan hadirnya turisme di kota ini. Meskipun telah ada taksi, bis, dan juga ojek, eksistensi becak dalam relasi transportasi dan pariwisata (masih) tetap dipertahankan sampai saat ini.
Ketiga, keberadaan becak Yogyakarta telah menjadi bagian dari sistem ekonomi yang khas, keluar dari fungsinya sebagai moda transportasi semata, dengan menciptakan rantai ekonomi kota yang saling menguntungkan berbagai pihak. Misalnya, dalam wilayah turisme, keberadaan tukang becak tidak dapat dilepaskan dari para pemandu, penjual kerajinan dan makanan oleh-oleh, seniman, hotel, juragan becak, toko-toko cenderamata sampai pada abdi dalem Kraton.
Keempat, keberadaan becak Yogyakarta telah menjadi bagian, bahkan telah ikut menciptakan dan memperkuat interaksi dalam lingkungan pertetanggaan, baik secara spasial, sosial-ekonomi, maupun kultural seiring perkembangan Yogyakarta.
(Berbagai Sumber Artikel tentang Becak Jogja di google.co.id )
Hal ini ditegaskan kembali oleh pernyataan Walikota Yogyakarta dan wakilnya di tahun 2004 lalu, bahwa "Becak harus tetap dipertahankan sampai umur kota Yogyakarta habis”. Yogyakarta dan becak seolah telah menjadi dua sisi dari mata uang yang sama.
Mengapa becak bisa terus eksis di Yogyakarta? Berikut beberapa latar belakangnya:
Pertama, keberadaan becak Yogyakarta dianggap telah menjadi bagian dari identitas budaya Yogyakarta, yaitu: budaya Jawa. Gusti Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan bahwa becak dapat dijadikan ciri penanda budaya Jawa, sehingga harus dijaga kelangsungan hidupnya. Pernyataan Junjungan Kawula Jogja ini telah membuka harapan bagi komunitas tukang becak (yang jelas dari kalangan “kawula alit”) memperkuat legitimasi becaknya, yang terkait dengan konteks Yogyakarta yang khas dan “lain daripada yang lain” (baca: Istimewa). Reproduksi citra Yogya “yang lain” ini, selain dilakukan oleh tukang becak dan masyarakat kecil itu, juga terus-menerus direproduksi oleh berbagai media; keduanya menyatakan ‘kehadiran’ becak tidak terpisahkan dengan sejarah dan budaya kota Yogyakarta.
Kedua, keberadaan becak Yogyakarta telah mengakar menjadi bagian dari sistem transportasi kota, ketika ia juga mulai menjadi bagian dari turisme. Becak memang merupakan kendaraan multifungsi dan tampaknya selalu ada saja becak yang tersedia setiap saat, pagi atau malam, tak seperti taksi atau bus. Pemandangan seperti ini telah membentuk suatu kecenderungan, terutama di kalangan turis asing, untuk meromantisir tukang becak. Para turis kulit putih sering memiliki tukang becak ‘pribadi’ selama masa tinggal mereka, kemudian menuliskan pengalaman serta persahabatan mereka dengan sang tukang becak di Internet.
Dalam sistem transportasi kota, posisi becak telah menjadi bagian dari sistem kebijakan aturan kota dan sistem moda transportasi yang memiliki fungsi masing-masing, justru karena becak telah menjadi bagian kuat dari pariwisata kota sejak dulu. Transportasi Yogyakarta terbentuk seiring dengan hadirnya turisme di kota ini. Meskipun telah ada taksi, bis, dan juga ojek, eksistensi becak dalam relasi transportasi dan pariwisata (masih) tetap dipertahankan sampai saat ini.
Ketiga, keberadaan becak Yogyakarta telah menjadi bagian dari sistem ekonomi yang khas, keluar dari fungsinya sebagai moda transportasi semata, dengan menciptakan rantai ekonomi kota yang saling menguntungkan berbagai pihak. Misalnya, dalam wilayah turisme, keberadaan tukang becak tidak dapat dilepaskan dari para pemandu, penjual kerajinan dan makanan oleh-oleh, seniman, hotel, juragan becak, toko-toko cenderamata sampai pada abdi dalem Kraton.
Keempat, keberadaan becak Yogyakarta telah menjadi bagian, bahkan telah ikut menciptakan dan memperkuat interaksi dalam lingkungan pertetanggaan, baik secara spasial, sosial-ekonomi, maupun kultural seiring perkembangan Yogyakarta.
(Berbagai Sumber Artikel tentang Becak Jogja di google.co.id )
2 comments:
Waah,,,emang BECAK adlah Ciri Khas Budaya Bangsa Boss...di Tempat Ayas juga msih Banyak Becak kok....dgn BECAK tu bisa lbih mnikmati Jalan2 dgn Nyaman,,,ANTI POLUSI,,,IRIT BBM lagi...Hwehehee....
memang betul kurang afdol kalo jalan2 nang malioboro gk numpak becak...
Post a Comment