Ada sebuah peristiwa sejarah di Giyanti, sebuah tempat yang terletak di Dusun Kerten, Jati Harjo, Kab. Karanganyar, Jawa Tengah. Di sana pernah diadakan perjanjian besar yang merubah (sekaligus mengakhiri) eksistensi sebuah kerajaan Islam terbesar di Pulau Jawa, Kesultanan Mataram. Perjanjian itu berisikan pembagian wilayah Mataram. Dalam bahasa sejarah disebut pembagian sigar-semongko bagi tanah-tanah Jawa yang pernah di bawah pangkuan kekuasaan raja-raja Mataram sebelumnya.
Sigar-semongko, adalah konsep membagi kekuasaan yang dilandasi bias subyektif kolonial Belanda (Karena turut campur tangannya VOC dalam kemelut kerajaan Mataram), berdasarkan bahasa ”kesepakatan” bersama. Berangkat dari peristiwa itu, pada tanggal 13 Februari 1755, nama “giyanti” menjadi populer, hingga nama tempat itu selalu disebut dalam setiap lembaran sejarah mataram yang mencatat kisah pembagian kekuasaan antara Surakarta (Solo) dan Yogyakarta.
Perjanjian Giyanti, hingga kini tetap dianggap sebagai peristiwa sejarah bilamana aspek peristiwanya berkaitan dengan fenomena kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.
Sejarah kontemporer telah mencatat pertumbuhan lahirnya dua kerajaan besar di Jawa, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, ditambah berikutnya dua kerajaan kecil Mangkunegaran dan Pakualaman di dua kota itu.
Di alam kemerdekaan Republik Indonesia, keempat kerajaan yang merdeka secara otonom ini, dinyatakan oleh Menteri Dalam Negeri Soedarsono, tinggal dua kerajaan yang berhak memangku jabatan sebagai daerah istimewa kerajaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Sementara Mangkunegaran dan Pakualaman, harus bergabung ke dalam tata administrasi “keistimewaan” untuk status bekas kerajaan itu.
Perkembangan selanjutnya, di Solo pernah muncul gerakan PAS (Panitia Anti Swapraja) hingga dihapusnya status “Daerah Istimewa Surakarta” tahun 1950, sementara Yogyakarta masih tetap menjaga ketenangan kerajaan yang tetap kondusif hingga sekarang.
Sumber artikel: Berbagai sumber
Sumber Gambar:http://tabloidpamor.com/2008/05/27/
Perjanjian Giyanti, hingga kini tetap dianggap sebagai peristiwa sejarah bilamana aspek peristiwanya berkaitan dengan fenomena kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.
Sejarah kontemporer telah mencatat pertumbuhan lahirnya dua kerajaan besar di Jawa, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, ditambah berikutnya dua kerajaan kecil Mangkunegaran dan Pakualaman di dua kota itu.
Di alam kemerdekaan Republik Indonesia, keempat kerajaan yang merdeka secara otonom ini, dinyatakan oleh Menteri Dalam Negeri Soedarsono, tinggal dua kerajaan yang berhak memangku jabatan sebagai daerah istimewa kerajaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Sementara Mangkunegaran dan Pakualaman, harus bergabung ke dalam tata administrasi “keistimewaan” untuk status bekas kerajaan itu.
Perkembangan selanjutnya, di Solo pernah muncul gerakan PAS (Panitia Anti Swapraja) hingga dihapusnya status “Daerah Istimewa Surakarta” tahun 1950, sementara Yogyakarta masih tetap menjaga ketenangan kerajaan yang tetap kondusif hingga sekarang.
Sumber artikel: Berbagai sumber
Sumber Gambar:http://tabloidpamor.com/2008/05/27/
No comments:
Post a Comment