February 10, 2011

PEUNAYONG (Chinatown of Banda Aceh)


Diakui tidaknya sebutan kawasan Peunayong Kota Banda Aceh, tidak asing lagi bagi warga etnis Tionghoa. Karena, di antara kawasan yang ada di Ibukota provinsi Aceh, kawasan ini telah dijadikan pusat perdagangan di sepanjang abad hingga sekarang.

Bahkan, penghuni kawasan ini dihuni dari bermacam warga dan suku, antara lain, Tionghoa dari Suku Khe, Tio Chiu, Kong Hu, Hokkian, dan sub etnis lainnya.

Bongkar muat barang sederetan mobil diparkir berjejalan dengan truk, becak, dan kesibukan transaksi jual-beli terlihat di pertokoan sepanjang Peunayong, sebuah kawasan kota tua di tanah rencong.

Sebagai pasar tradisional, toko kain, rumah obat, kedai kopi, barang kelontong, dan pelbagai komoditas lainnya mendominasi wilayah sepanjang Jalan Ahmad Yani dan Jalan Panglima Polem.

Suasana kedai kopi tampak dipenuhi generasi tua masyarakat Tionghoa yang mengenakan kaus sederhana, menikmati kopi, mengisap rokok, sambil bercakap-cakap dalam dialek Khe diselingi ucapan bahasa Mandarin.

Kawasan itu tidak hanya bagi warga etnis saja yang mendominasi, melainkan juga masyarakat Banda Aceh-pun, menganggap pasar tersebut sebagai pasar utama kebutuhan primer.

Secara geografis letakanya termasuk cukup strategis karena keberadaannya tidak begitu jauh dari tepi Krueng Aceh yang membelah kota tua Banda Aceh (dulu Kuta radja. Red.Jogjaicon), serta di sekitar empat kilometer ke arah utaranya berbatasan dengan laut Selat Malaka.

Leluhur warga Tionghoa, berada di Peunayong bukan hal baru, yaitu sekitar abad 17 Masehi yang lalu, deretan ruko lama dan sebuah wihara adalah bagian dari perjalanan sejarah mereka. Lokasinya terletak di beberapa titik, yakni di jalan A. Yani, WR. Supratman, dan RA. Kartini

Setiap hari, lokasi itu pun selalu disibukkan dengan keramaian pembeli dan pedagang. Terlepas dari hal tersebut pula, merupakan omset Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemerintah Kota Banda Aceh yang masuk ke dalam kas daerah.

Bangunannya digunakan dari dua lantai, yakni lantai satu sebagai tempat berdagang, dan lantai dua untuk penghunian warga etnis Tionghoa. Selain itu, bangunan lantai satu tampak dari tegel dengan permukaannya lebih rendah daripada jalan raya di depannya.

Untuk keperluan pencahayaan dan sirkulasi udara, dinding bangunan lantai dua dilengkapi dengan jendela yang terbuat dari bilah-bilah papan disusun rapi secara vertikal.

Kedatangan warga etnis itu, juga tidak hanya sekedar berbisnis saja, melainkan turut diisi dengan sejumlah tempat ibadah sebagai kepercayaannya dalam beragama, yakni Vihara Dharma Bhakti yang terletak di jalan Teuku Panglima Polem.


Pada saat perayaan Imlek (Tahun Baru bagi etnis Tionghoa), warga Tionghoa, berpenganut Budha Banda Aceh memadati tempat ibadah di wihara itu dalam kegiatannya memperingati tahun baru Imlek. Penganut agama Budha terlihat hikmat mengikuti prosesi ibadah, selain membagi-bagikan makanan ringan dan amplop berwarna merah yang berisi uang (angpao).

Ketua Yayasan Vihara Dharma Bhakti, Yuswar mengatakan, sekitar 2.000 lebih warga Tionghoa dan penganut Budha lainnya setiap tahun melaksanakan ritual Imlek di Banda Aceh. Imlek dirayakan semua warga Tionghoa di dunia, apapun agama dan kepercayaan yang dianut.

"Perayaan Imlek bertujuan mempererat tali kasih dan mendoakan Aceh tetap dalam kondisi kondusif serta menjaga kedamaian Aceh yang telah dicapai," kata Yuswar.

Hari pertama Imlek tersebut diisi dengan sembahyang dan menyambut para tamu, sedangkan hari selanjutnya juga mengunjungi berbagi tempat rekreasi.

Bangunannya kini sudah diperbaharui yang dibangun di atas lahan bangunan lama. Keberadaannya bersamaan dengan tumbuhnya ruko di abad ke-19 silam.

Di bagian kiri dan kanan wihara, terdapat sebuah patung naga laut yang dalam kepercayaan umat tersebut, menandakan naga laut sebagai simbol penjaga, penolak bala, dan kekuasaan.

Kedua patung naga itu terdapat lampu hias yang dirangkai dengan bunga teratai, hingga kini wihara ramai dikunjungi oleh umat Budha terutama dalam peringatan hari-hari besar. Para penganut yang berkunjung bukan hanya yang berdomisili di Banda Aceh, bahkan dari luar ibukota provinsi Aceh.

Penempatan Pasar Peunayong secara permanen yang tidak terlalu jauh berkisar antara dua kilometer di utara Mesjid Raya Baiturrahaman, guna untuk kemudahan pengawasan kegiatan pusat kota.

Diketahui pula bahwa Banda Aceh yang kedudukannya sebagai kota pesisir berfungsi juga sebagai kota dagang tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai daerah dan kebudayaan.

Setiap kelompok etnis, juga membentuk perkampungan mereka sendiri sebagaimana kampungnya. Bukti-bukti arkeologis berupa kompleks ruko-ruko lama yang kini masih berdiri di sana menandai perjalanan dari suatu komunitas budaya yang khas.

Hal ini salah satunya tampil dalam bentuk arsitektur bangunan ruko. Arsitektur ruko di Peunayong merupakan perpaduan dari dua kebudayaan yang berbeda yang berasal dari pengaruh Tionghoa dan Belanda (Eropa).

Konstruksi memanjang yang terdiri dari beberapa ruko dalam satu kesatuan bangunan sangatlah efisien karena tidak perlu menempati lahan secara luas.

Bentuk ruko yang dibangun tinggi di Peunayong merupakan salah satu bentuk adaptasi dengan lingkungan agar bangunan mendapatkan penghawaan dan pencahayaan yang cukup.

Sebelumnya beberapa tokoh masyarakat di Kota Banda Aceh mengatakan, kedatangan warga etnis itu disebut-sebut akibat konflik yang dialami warga etnis China di negaranya.

Namun, kedatangan mereka tidak hanya bertolak ke Aceh saja, yang awalnya tiba dipelabuhan Ulee Lhee Banda Aceh yang selanjutnya merasuk hampir ke seluruh kabupaten/ kota di Aceh, melainkan juga ke negara-negara berkembang dunia lainnya.

Dalam interaksi budaya, meskipun ada inovasi budaya, nilai-nilai khas etnis Tionghoa tidak mudah dihilangkan. Kini simbol-simbol budaya etnis Tionghoa dalam Imlek pun begitu dikenal, termasuk oleh kaum pribumi.
Lampion merah, buah-buahan, hingga kue keranjang sudah begitu identik dengan perayaan tersebut.(*)

Sumber:http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=Peunayong+dan+Kehidupan+Komunitas+Etnis+Cina&dn=20100228222427

Ditulis oleh: Afrizal pada 10 Maret 2010 Judul: Peunayong dan kehidupan etnis Cina
Penulis adalah pemerhati sosial dan budaya, tinggal di Banda Aceh.

Diposkan awal untuk:http://www.kabarindonesia.com/

Dishare kembali oleh:jogjaicon.blogspot.com

Sumber Gambar:theglobejournal.com/kategori/foto/ dan:panoramio.com


Visit Banda Aceh Year 2011,

Dukung Pariwisata Indonesia dengan menjadi Agen Tiket Online:

'Create

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...