February 12, 2011

ABIMANYU GUGUR (Scene Haru Biru dalam Riuhnya BHARATAYUDHA)


PERANG saudara itu masih saja berkobar, melibas ratusan bahkan ribuan nyawa. Bangkai gajah, bangkai kuda, kereta perang dan patahan senjata, tersembul di sana-sini bercampur jenazah kedua pasukan, di tengah rawa darah, padang Kurusetra. Pesta para burung bangkai! Ulat-ulat menari girang, mendapatkan makanan melimpah ruah. Kepulan asap dupa dan kemenyan membubung melingkupi langit, seakan mengantarkan para arwah yang dipaksa meninggalkan jasadnya.

Pandawa dan Kurawa seakan bermain catur. Satu demi satu para senapati di masing-masing pihak mati di tangan lawan. Panglima Seta, dan kedua adiknya Utara dan Wratsangka, gugur membela Pandawa; sementara Bisma sebagai Panglima Kurawa mendengungkan terompet kemenangan. Pada hari berikutnya, Srikandi maju membela Pandawa, menggantikan Seta dan berhasil menewaskan Panglima Bisma.Begitu Bisma gugur, kedua belah pihak merasa terpukul. Bisma adalah kakek mereka. Bisma adalah guru mereka. Bisma adalah junjungan mereka. Namun perang adalah perang, yang ada hanyalah kalah atau menang. Percuma saja isak tangis tertumpah, jika pada akhirnya melahirkan amarah.

Perang adalah hidup atau mati. Itulah yang dibisikkan Kresna kepada Arjuna. Arjuna gelisah. Tak mungkin dia harus membunuh orang-orang yang masih berkaitan darah dengannya. Mustahil dia berhadapan dengan guru dan junjungannya. Bisma dan Dorna adalah dua orang yang memberinya bekal hidup dalam menempuh jalan sebagai seorang ksatria.Maka majulah Abimanyu, anak kesayangan Arjuna. Muda usianya, belum lagi 20 tahun ketika itu. Di atas kereta perangnya, Abimanyu membelah pasukan Kurawa. Kelebatan tangannya mematahkan serangan, sekaligus merenggut nyawa siapa pun yang mengadang, membuat Abimanyu dan kereta perangnya seakan putaran pedang yang menumpas habis apa saja. Kendali kereta berada di tangan Sumitro, saudara seayah Abimanyu. Di tangannya, kereta perang bagai rajawali yang melayang rendah dan menyambar ganas.

Pasukan Kurawa seperti ilalang yang bertumbangan ditebas bilah pisau raksasa; mati merana untuk sesuatu yang belum tentu mereka pahami benar.Hari itu, ketika terompet mengalun di bukit-bukit Kurusetra, bendera-bendera Pandawa berkibaran menantang langit. Megah, ditiup angin utara yang membawa kemenangan. Abimanyu dipanggul sebagai pahlawan.Dorna, resi tua renta, guru Pandawa dan Kurawa, hari itu menggenggam gendewanya. Serangan Abimanyu harus dipatahkan.

Gelar perang pun diubah. Strategi harus diambil untuk menghabiskan tenaga Abimanyu yang luar biasa. Ketika genderang perang dipukul bertalu-talu, mengiringi langkah tegap para prajurit ke medan laga, Dorna sigap di atas kereta perangnya.Ringkik kuda-kuda yang menarik kereta perang Abimanyu, sayup-sayup terbawa angin. Debu mengepul, melatari sorak-sorai manusia yang haus darah. Sesaat Dorna menahan nafas. Ada sebersit perasaan aneh dalam menghadapi Abimanyu. Belum lagi 20 tahun usianya, dan harus berhadapan dengan guru perang yang sudah sangat kenyang makan asam-garam kehidupan. Jika menang melawan Abimanyu, dunia tak akan heran, namun jika kalah... akan di kemanakan wajah tua yang diagungkan orang ini?Apalagi ketika bocah itu lahir,

Dornalah yang pertama kali mendapat izin menggendongnya, karena Arjuna -ayah Abimanyu- begitu hormat kepadanya. Kini, beberapa saat lagi, dia harus membunuh cucu yang disayanginya. Anak kecil yang pernah ngompol membasahi jubahnya, dan itu membuat Dorna terbahak-bahak hingga meneteskan air mata bahagia, kehidupannya akan musnah di tangan Dorna.Mata Dorna berkaca-kaca membayangkan kilasan masa lalu anak muda yang sebentar lagi mati di tangannya.

Tiba-tiba, seekor kuda putih melintas di hadapannya. Semula dia berpikir, kuda itu hanyalah kuda perang milik orang lain yang memang menjadi kendaraan perang. Namun, ketika kuda itu berhenti dan menatapnya lurus-lurus, tahulah Dorna bahwa itu adalah aura Dewi Wilutomo, bidadari yang dikutuk menjadi kuda, istrinya, yang kini telah tiada."Kau akan membunuh anak muda itu?" tanya kuda itu dalam suara yang hanya dipahami Dorna. Angin membelai lembut alis Dorna yang memutih di sana-sini."Ini perang, istriku.""Kau akan membunuh anak muda itu?" ulang Wilutomo tenang."Apa boleh buat..." jawab Dorna sambil mendesah."Berarti kau sekaligus akan membunuh ayahnya..."Dorna terdiam. Keteguhannya mulai goyah."Berarti kau juga akan membunuh anaknya...""Apa maksudmu?""Istri Abimanyu tengah mengandung. Bayi itu akan lahir tanpa mengenal ayahnya, jika panahmu menghisap nyawa Abimanyu..."Lama Dorna terdiam. Entah apa yang berkecamuk dalam hatinya. Matanya setengah terpejam, kumis dan janggutnya dibelai angin, lembut bergoyang-goyang.Tak lama kemudian, "Ini perang, Wilutomo. Ini perang..." lalu memacu kudanya, yang segera menarik kereta, maju mengadang lawan.

Perang pecah. Langit dipenuhi anak panah. Menghunjam ke bumi dan menciptakan tumpukan jenazah. Dorna membabi buta menghamburkan anak-anak panahnya. Namun, sulit sekali mendekati kereta perang Abimanyu. Diperintahkannya Jayadrata memancing Abimanyu agar mendekati wilayah Dorna.Sumitro tewas, namun kekang tak pernah lepas dari tangannya. Abimanyu segera menaiki Pramugari, kuda setianya yang sehati dengan tuannya. Pramugari bagai harimau lapar, melompat dan menendang lawan. Dengan gesit dia melompat, lalu berdiri menyongklang, mendepak lawan di depan. Kemudian menyentakkan kaki belakang menghantam manusia yang di belakangnya.

"Manakah Dorna, guru tua yang tak tahu diri itu?" tantang Abimanyu di sela-sela riuh rendahnya pertempuran.Dorna melepaskan panahnya, tepat mengenai jantung Pramugari. Kuda itu meringkik dan tersungkur mencium bumi. Abimanyu melompat turun dan dengan pedangnya, dia mulai membabat lawan. Tubuhnya seakan kebal, tak satu pucuk pun senjata mampu melukai kulitnya yang halus. Dorna tanggap, tali pengikat tempat anak panah itulah kelemahan Abimanyu. Oh, begitu mudah membunuhmu Abimanyu, tetapi mengapa kepiluan kian menggigitku, manakala kurentang gondewa ini kepadamu?

Sekejap, anak panah itu lepas, menebas tali pengikat...maka Abimanyu pun lumpuh bagai karung goni yang kosong. Segera tubuhnya terajam anak panah.Abimanyu, Abimanyu.. bagai landak tubuhmu, merangkak hina-lata tanpa rintihan. Telah kau kenyamkah kenikmatan hidup sebagai lelaki? Telah kau cicipikah kemuliaan hidupmu? Mengapa kau berakhir dengan tubuh nyaris hancur dirajam panah?

Dorna berbalik, menatap punggung bukit yang tergoresi warna merah senjakala. Tak dihiraukannya sorak-sorai itu. Jiwanya begitu sunyi. Kosong, melayang dia di atas kereta perang, mengutuki sebuah perbuatan yang hanya karena terbakar nafsu, melumatkan segalanya. "Kau akan membunuh ayahnya..." ucapan Wilutomo mengiang di telinganya. "Untuk apakah semua ini, suamiku?" bisikan pertanyaan Wilutomo kembali mengiang di telinga Dorna. "Aku minta jawaban yang jujur darimu, karena kau adalah guru kedua belah pihak yang bermusuhan..."Dorna terdiam. "Bukankah ini semua karena keangkuhan orang-orang sepertimu, yang mengatasnamakan harga diri, lalu dengan mudah mencabut pedang?""Kau tahu apa soal perang? Akulah guru perang. Akulah yang paling tahu, bahwa peperangan memang diperlukan.""Siapakah yang memerlukan peperangan?""Bumi ini!""Aku tidak mengerti?""Bumi membutuhkan siraman darah untuk menyuburkan dirinya.. dan itu untuk menumbuhkan kehidupan baru...""Maafkan aku, bila kepalaku hanya berisi kebodohan. Sebagai orang bijak, maukah kau menjelaskannya dengan bahasa yang bisa kupahami?"

Dorna terdiam lagi. Dan terdiam untuk waktu yang lama.Tak ada jawaban, karena berarti akan ada dusta baru lagi. Kematian Abimanyu membuat Arjuna tak terbendung. Meskipun putra mahkota kaum Kurawa, Raden Lesmana, juga mati di tangan Abimanyu, itu tak cukup bagi Arjuna. Di lain pihak Prabu Duryudana, raja kaum Kurawa, menjadi naik pitam. Hukum peperangan pun dilanggar.

Kematian kian menderas membasahi bumi yang seolah tersenyum menerima tubuh-tubuh bergelimpangan.Gatotkaca mati di tangan Adipati Karna. Lalu entah siapa lagi dan siapa lagi. Karna mati di tangan Arjuna. Dorna kian tua menatap semuanya. Dia mencoba menata jiwanya. Maka medan perang pun terobrak-abrik oleh amukan resi tua yang dahsyat itu. Pedangnya, panahnya, semuanya meminta nyawa. Sementara tubuh renta yang seolah hanya tulang terbalut kulit itu, seakan tak terjamah senjata. Panah seakan kuntum mawar yang dilontarkan penari cantik, bagi Dorna. Arjuna enggan melawan gurunya.

Bima hanya menggeram, dan agaknya masih larut dalam kepedihan atas kepergian anaknya.Tak ada lain, hanya Yudistira yang harus menghadapinya."Hanya Yudistira yang mampu menaklukkan Resi Dorna..." ucap Kresna ketika mengatur siasat perang. Karena tak ada pertanyaan, Kresna pun melanjutkan, "... karena hanya Yudistira yang akan didengar pendapatnya oleh Dorna... Tenda kian mencekam, karena tak seorang pun mengerti maksud Kresna. Lelaki berkulit hitam dan selalu tersenyum memandang masa depan itu, kemudian menjelaskan strateginya kepada Pandawa. "Dorna akan lebih paham apa yang diucapkan Wilutomo.. ya, dia akan benar-benar paham arti ucapan itu...," tambah Kresna sambil menatap suatu tempat nun jauh entah di mana.

Pedang berkelebat, darah membesut membasahi bumi. Teriakan dan lolongan bersahutan dan di langit ratusan burung bangkai melayang-layang berkaok-kaok siap berpesta pora. Resi Dorna menumbangkan kehidupan, dia mengamuk seakan mencari kematiannya sendiri. Anehnya, saat itu, kematian justru terbirit-birit dikejar kelebatan pedang Dorna. Angin berkhianat, mengapa pula membawa nama itu "Aswatama mati...!" Nama itu, nama anaknya, yang juga berperang di sisi lain medan pertempuran.

Di selatan angin membawa nama itu sampai di telinganya. Kemudian dari barat, angin pun membawa berita itu kepadanya. Dorna seperti lumpuh. Namun, tangannya masih haus darah."Yudistiraaa... di mana kau?" teriaknya lantang.Kereta perangnya terhenti, tepat di depan kereta perang Yudistira. Di hadapan Yudistira, Dorna seakan menyaksikan alam yang begitu permai, sejuk dan mendamaikan hatinya. Perlahan Dorna turun dari kereta, demikian pula Yudistira yang maju tanpa menggunakan senjata. Dorna pun membuang pedangnya ke tanah, mereka saling mendekat.

Dorna memeluk raja yang terkenal jujur dan bijaksana itu."Benarkah Aswatama mati?" bisiknya dengan suara parau.Yudistira memeluknya erat, terdiam beberapa saat."Katakan padaku, wahai Yudistira. Katakan, wahai kejujuran, katakan bahwa benar Aswatama, anakku telah mati.""Benar. Aswatama telah mati," jawab Yudistira pendek. Langit gelap oleh duka cita. Dorna gemetar melepas pelukannya. Matanya basah menatap Yudistira. Yudistira menunduk. Bibirnya gemetar."Mengapa guruku menangisi kematian? Bukankah guru mengajarkan kepada kami bahwa setiap nyawa yang mati di medan laga adalah sekuntum kemuliaan bagi alam..." ucap Yudistira seolah tertelan keriuhan sorak-sorai pembantaian manusia.

Air mata Dorna menderas. Tubuhnya seakan melayang tak menapak bumi. Dia undur beberapa langkah menjauhi Yudistira. "Kaulah kejujuran itu, Yudistira. Hanya kaulah yang kupercaya. Bukan kematian Aswatama yang kutangisi, tapi dusta yang baru saja kau ucapkan, yang kusesali. Apa lagi yang akan kuperoleh di dunia ini, manakala kejujuran telah melahirkan dusta? Oh, Yudistira, Yudistira.. tak ada lagi yang bisa kupercaya. Dunia pun bahkan tak punya pegangan lagi dalam berputar, karena kejujuran telah mendustainya."Senja merah tutun menyelimuti jenazah mahaguru Dorna. Tak satu pun bibir mampu berucap. Hanya dupa mengiringkan kepergiannya menuju alam kebebasan yang sejati. Senja itu, sesuatu telah terjadi dan tak akan pernah bisa diperbaiki.



Sumber Tulisan:
Mohon maaf sebesar-besarnya jika kami lupa darimana tulisan indah diatas kami cuplik. Semoga terjawab diantara sobat-sobat Blog sekalian. Maturnuwun

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...